Kamis, 14 November 2013

Inspirasiku: AS_SYURA: Antara Sunni dan Syiah (Dikutip dari kar...

Inspirasiku: AS_SYURA: Antara Sunni dan Syiah (Dikutip dari kar...: Pada bulam Muharram terdapat satu hari yang dianggap istimewa oleh berbagai kalangan, baik umat Islam maupun di luar umat Islam. Hari yan...

AS_SYURA: Antara Sunni dan Syiah (Dikutip dari karya Amin Saefullah Mukhtar)

Pada bulam Muharram terdapat satu hari yang dianggap istimewa oleh berbagai kalangan, baik umat Islam maupun di luar umat Islam. Hari yang dimaksud adalah hari Asyura, sebutan untuk tanggal 10 bulan Muharram.

Pengertian Asyura & Sejarahnya

Al-Qurthubi berkata:
عَاشُوْرَاءُ مَعْدُوْلٌ عَنْ عَاشِرَةٍ لِلْمُبَالَغَةِ وَالتَّعْظِيْمِ وَهُوَ فِي الأَصْلِ صِفَةٌ لِلَّيْلَةِ الْعَاشِرَةِ لأَنَّهُ مَأْخُوْذٌ مِنَ الْعَشْرِ الَّذِي هُوَ إِسْمُ الْعَقْدِ وَالْيَوْمُ مُضَافٌ إِلَيْهَا فَإِذَا قِيْلَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ فَكَأَنَّهُ قِيْلَ يَوْمُ اللَّيْلَةِ الْعَاشِرَةِ اَلاَ إِنَّهُمْ لَمَّا عَدَلُوْا بِهِ عَنِ الصِّفَةِ غَلَبَتْ عَلَيْهِ الإِسْمِيَّةُ فَاسْتَغْنَوْا عَنِ الْمَوْصُوْفِ فَحَذَفُوْا اللَّيْلَةَ فَصَارَ هذَا اللَّفْظُ عَلَمًا عَلَى الْيَوْمِ الْعَاشِرِ
 “Kata Asyura adalah shigah mubalagah, yaitu dirubah dari kata ‘asyirah yang berfungsi untuk menyangatkan arti (mengandung makna sangat) dan mengagungkan. Pada asalnya digunakan sebagai sifat malam ke-10, karena diambil dari kata al-asyr sebagai nama bilangan puluhan, dan kata yaum disandarkan kepadanya. Bila dikatakan Yaum Asyura seolah-olah perkataan itu bermakna: Hari malam Asyirah. Ketahuilah, ketika mereka merubah kata itu dari sifat, dan didominasi oleh isim (nama), mereka mengangap cukup dengan mausuf (kata yang disifatinya), lalu membuang kata “al-lail”, sehingga kata itu menjadi nama bagi hari ke-10” (Lihat, Fath al-Bari, IV:245; Tanwir al-Hawalik, IV:326)

Sebagian ulama berpendapat bahwa hari ke-10 bulan Muharram dinamakan Asyura karena pada hari itu Allah memuliakan 10 Nabi dengan 10 kemuliaan. Para nabi yang dimaksud adalah sebagai berikut:

Pertama, Adam (diperkirakan hidup pada 5872-4942 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diterima taubatnya. 

Kedua, Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari banjir besar dan bahteranya berlabuh di atas bukit Judi.

Ketiga, Ibrahim (diperkirakan hidup pada 1997 -1822 SM). Pada hari itu ia dilahirkan.

Keempat, Ya'qub (diperkirakan hidup pada 1837 - 1690 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan disembuhkannya dari kebutaan.

Kelima, Yusuf (diperkirakan hidup pada 1754 - 1635 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari sumur.

Keenam, Musa (diperkirakan hidup pada 1527 - 1407 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari kejaran Fir’aun.

Ketujuh, Dawud (diperkirakan hidup pada 1041 - 971 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diterima taubatnya.

Kedelapan, Yunus (diperkirakan hidup pada 820 - 750 SM). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diselamatkannya dari perut ikan.

Kesembilan, Isa (diperkirakan hidup di bumi pada 1 SM – 32 M). Pada hari itu ia dilahirkan dan diangkat ke langit dalam keadaan hidup.

Kesepuluh, Muhammad (diperkirakan hidup pada 571 – 632 M). Pada hari itu ia dimuliakan oleh Allah dengan diampuni dosa-dosanya, baik di masa lalu maupun masa mendatang.

Sementara menurut ulama yang lain, kategori 10 Nabi itu meliputi Idris, Ayub, dan Sulaiman. Adapun bentuk pengistimewaannya sebagai berikut:
  • Idris (diperkirakan hidup pada 4533 - 4188 SM). Pada hari itu ia diangkat ke langit.
  • Ayyub (diperkirakan hidup pada 1540 - 1420 SM). Pada hari itu ia disembuhkan dari penyakitnya.
  • Sulaiman (diperkirakan hidup pada 989 - 931 SM). Pada hari itu ia dianugerahi kekuasaan sebagai raja. (Lihat, Umdah al-Qari, XI:117-118)
Keterangan di atas menunjukkan bahwa dilihat dari aspek kronologi Asyura memiliki rentang waktu yang cukup panjang. Meski demikian, yang akan diuraikan di sini hanya beberapa periode nabi yang diterangkan di dalam al-Quran dan Sunnah, di mulai pada masa Nabi Nuh (diperkirakan hidup pada 3993-3043 SM).

Asyura Zaman Nabi Nuh

Pada zaman ini, Asyura berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang dialami oleh Nabi Nuh As., sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. sebagai berikut:
وَقِيلَ يَا أَرْضُ ابْلَعِي مَاءَكِ وَيَا سَمَاءُ أَقْلِعِي وَغِيضَ الْمَاءُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَاسْتَوَتْ عَلَى الْجُودِيِّ وَقِيلَ بُعْدًا لِلْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan difirmankan: "Hai bumi telanlah airmu, dan hai langit (hujan) berhentilah," dan airpun disurutkan, perintahpun diselesaikan dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi, dan dikatakan: "Binasalah orang-orang yang zalim ." Q.s. Hud:44

Peristiwa berlabuhnya kapal Nabi Nuh di atas bukit Judi terjadi pada hari Asyura sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ، قَالَ: مَرَّ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم بِأُنَاسٍ مِنَ الْيَهُودِ قَدْ صَامُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ، فَقَالَ: ...وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِىِّ، فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ تَعَالَى...
Dari Abu Huraerah, ia berkata, “Nabi saw. melewati beberapa orang Yahudi, sungguh mereka shaum hari Asyura, mereka berkata, “…Ini adalah hari di mana perahu itu (Nuh) berlabuh di atas bukit Judi, lalu Nuh dan Musa melaksanakan shaum hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah…H.r. Ahmad, al-Musnad, II:359, No. hadis 8702

Kata Imam al-Qurtubi:
إِسْتَوَتْ عَلَيْهِ فِي الْعَاشِرِ مِنَ الْمُحَرَّمِ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَصَامَهُ نُوْحٌ وَأَمَرَ جَمِيْعَ مَنْ مَعَهُ مِنَ النَّاسِ وَالْوَحْشِ وَالطَّيْرِ وَالدَّوَابِ وَغَيْرِهَا فَصَامُوْهُ شُكْرًا للهِ تعالى
“Perahu itu (Nuh) berlabuh di atasnya pada 10 Muharram, hari Asyura. Maka Nabi Nuh melaksanakan shaum (hari itu) dan ia memerintah kepada semua makhluk yang menyertainya: manusia, binatang liar, burung, dan binatang ternak, dan lain-lain, lalu mereka melaksanakan saum itu sebagai rasa syukur kepada Allah” (Lihat, Tafsir al-Qurtubi, IX:41)

Kata Ibnu Hajar:
وَحَاصِلُهَا أَنَّ السَّفِيْنَةَ اسْتَوَتْ عَلَى الْجُوْدِيِّ فِيْهِ فَصَامَهُ نُوْحٌ وَمُوْسَى شُكْرًا
“Dan kesimpulannya bahwa perahu itu (Nuh) berlabuh di atas bukit Judi pada hari itu (10 Muharram), lalu Nuh dan Musa melaksanakan shaum hari itu sebagai rasa syukur kepada Allah” (Lihat, Fath al-Bari, IV:248)

Berbagai keterangan di atas menunjukkan bahwa bagi Nabi Nuh hari Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu Allah menyelamatkan beliau dan kaumnya yang beriman dari banjir besar. Lalu Nabi Nuh melaksanakan shaum pada hari itu sebagai sebagai rasa syukur kepada Allah.

Adapun posisi bukit judi berhadapan dengan semenanjung Ibnu Umar, yang sekarang menjadi perbatasan Suriah-Turki, di tepian sebelah timur sungai Tigris. Bukit Judi ini terlihat jelas dari daerah Ainu Diwar, Suriah. (Lihat, Athlas al-Qur’an, hal. 25)

Asyura Zaman Nabi Musa

Pada zaman ini, Asyura berhubungan erat dengan suatu peristiwa yang dialami oleh Nabi Musa As., sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Swt. sebagai berikut:
وَإِذْ نَجَّيْنَاكُمْ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَسُومُونَكُمْ سُوءَ الْعَذَابِ يُذَبِّحُونَ أَبْنَاءَكُمْ وَيَسْتَحْيُونَ نِسَاءَكُمْ وَفِي ذَلِكُمْ بَلَاءٌ مِنْ رَبِّكُمْ عَظِيمٌ
Dan (ingatlah) ketika Kami selamatkan kamu dari (Fir'aun) dan pengikut-pengikutnya; mereka menimpakan kepadamu siksaan yang seberat-beratnya, mereka menyembelih anak-anakmu yang laki-laki dan membiarkan hidup anak-anakmu yang perempuan. Dan pada yang demikian itu terdapat cobaan-cobaan yang besar dari Tuhanmu. Q.s. Al-Baqarah:49

Peristiwa di atas terjadi pada hari Asyura sebagaimana dijelaskan dalam hadis berikut ini:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللهُ عَنْهمَا قَالَ قَدِمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هذَا قَالُوا هذَا يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ.
Dari Ibnu Abbas berkata, Ketika Nabi Saw. tiba di Madinah, beliau medapati orang-orang Yahudi sedang melaksanakan shaum pada hari Asyura. Maka beliau bertanya mengenai hal itu, maka mereka berkata, “Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan bani Israil atas (kejaran) Fir’aun, maka Musa menshauminya.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa.” Kemudian beliau shaum dan memerintah para shahabat agar menshauminya. H.r. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, II:704, No. 1900.

Imam al-Bukhari meriwayatkan pula dengan redaksi:
فَقَالُوا هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْن فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ
“Maka mereka berkata, ‘Ini adalah hari agung, yaitu hari ini di mana Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan menenggelamkan Fir’aun beserta tentaranya, maka Musa menshauminya sebagai rasa syukur kepada Allah.” (Shahih al-Bukhari, III:1245, No. 3216)

فَقَالُوا هَذَا الْيَوْمُ الَّذِي أَظْفَرَ اللَّهُ فِيهِ مُوسَى وَبَنِي إِسْرَائِيلَ عَلَى فِرْعَوْنَ وَنَحْنُ نَصُومُهُ تَعْظِيمًا لَهُ
“Maka mereka berkata, ‘Ini adalah hari di mana Allah Swt. pernah memenangkan Nabi Musa dan bani Israil atas Fir’aun, dan kami menshauminya karena mengagungkannya’.” (Shahih al-Bukhari, III:1434, No. 3727)

Hadis di atas menunjukkan bahwa bagi orang Yahudi hari Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu Allah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil dari kejaran Fir’aun dan tentaranya. Di mana waktu itu Fir’aun dan tentaranya mati tenggelam. Lalu Musa melaksanakan shaum pada hari itu. Dan peristiwa selamatnya Nabi Musa diperingati oleh Yahudi dengan cara melaksanakan shaum Asyura.

Asyura Zaman Nabi Isa

حِينَ صَامَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَنَا بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى ...
Di saat Rasulullah Saw. shaum pada hari Asyura dan beliau memerintah shaum (kepada para sahabat) mereka berkata, “Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan Nashrani.” … H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:797, No. 1134; Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:327, No. 2445; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:287, No. 8184

Keterangan:
Bagi orang Nashrani hari Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu Nabi Isa melaksanakan shaum, dan Shaum Nabi Isa merupakan kelanjutan syariat shaum Nabi Musa yang tidak dimansukh oleh syariat Nabi Isa. Karena itu orang Nashrani pun melaksanakan shaum Asyura. (Lihat, Fath al-Bari, IV:248)

Asyura Zaman Jahiliyyah

Jahiliyah adalah konsep dalam agama Islam yang menunjukkan masa dimana penduduk Mekah berada dalam ketidaktahuan (kebodohan). Akar istilah jahiliyyah adalah bentuk kata kerja jahala, yang memiliki arti menjadi bodoh, bodoh, bersikap dengan bodoh atau tidak peduli.

Kemudian dalam syariat Islam memiliki arti "ketidaktahuan akan petunjuk Ilahi". Keadaan tersebut merujuk pada situasi bangsa Arab kuno, yaitu pada masa masyarakat Arab pra-Islam sebelum diutusnya seorang rasul yang bernama Muhammad. (Lihat penjelasan selengkapnya dalam Ianah al-Mustafid bi Syarah Kitab at-Tawhid, II:219)

Oleh Ibnu Abas, masa ini disebut pula masa fatrah yang memakan waktu selama 434 tahun, dihitung sejak Nabi Isa diangkat ke langit (sekitar 32 M) hingga masa diangkatnya Muhammad saw. menjadi Nabi dan Rasul. (Lihat, Tarikh Madinah Dimasyqa, I:2)

Bagi orang Arab Jahiliyyah, Asyura dianggap istimewa karena pada hari itu diperbarui penutup (kiswah) Ka’bah. Dan untuk melengkapi pengagungannya mereka melaksanakan shaum pada hari itu. Penjelasan tentang itu kita peroleh dari hadis berikut ini
عَن عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ
Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah” H.r. al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, III:1393, No. 3619

Pada masa ini, Nabi Muhamad saw. turut serta menshauminya karena masih mengikuti tradisi jahiliyyah. Aisyah menjelaskan:
وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُهُ فِى الْجَاهِلِيَّةِ
“Dan Rasulullah saw. menshauminya pada masa jahiliyyah” HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, II:326, No. 2442; al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:288, No. 8192; Malik, al-Muwatha, I:299, No. 662; asy-Syafi’I, Musnad asy-Syafi’I, I:161.

Adapun latar belakang orang jahiliyyah menghormati Asyura, dijelaskan oleh para ulama sebagai berikut:
Imam Al-‘Ainiy berkata:
كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ يَوْمًا تُسْتَرُ فِيْهِ الْكَعْبَةُ وَكَانَتْ تُكْسَى فِي كُلِّ سَنَةٍ مَرَّةً يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ
Hari Asyura adalah hari ditutupnya Ka’bah. Dan ia ditutup pada setiap tahun satu kali pada hari Asyura. (Lihat, Umdah al- Qari, juz XIV:455)

Syekh Athiyyah Muhamad bin Salim berkata:
وَقُرَيْشٌ كَانَتْ تَصُوْمُ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ، وَتُجَدِّدُ فِيْهِ كِسْوَةَ الْكَعْبَةِ
Orang-orang Quraisy saum pada hari Asyura dan pada hari itu (pula) mereka memperbarui kiswah Ka’bah. (Lihat, Syarh Bulughul Maram, VII:153)

Dr. Jawwad Ali berkata:
أَنَّ قُرَيْشًا كَانَتْ تُعَظِّمُ هذَا الْيَوْمَ، وَكَانُوْا يَكْسُوْنَ الْكَعْبَةَ فِيْهِ، وَصَوْمُهُ مِنْ تَمَامِ تَعْظِيْمِهِ
Sesungguhnya orang-orang Quraisy mengagungkan hari ini, dan pada hari itu mereka menutup ka’bah, dan melaksanakan saum karena melengkapi pengagungannya. (Lihat, Al-Mufashal fi Tarikh al-‘Arab Qabl al-Islam, XVI:114)


Asyura Zaman Nabi Muhamad

Nabi Muhammad saw. hidup di Mekah selama 12 tahun 5 bulan 13 hari, terhitung sejak masa bi’tsah (pengangkatan Nabi & Rasul) tanggal 17 atau 25 Ramadhan tahun ke-41 dari kelahiran Nabi, yang bertepatan dengan 6 atau 14 Agustus 610 M, hingga 1 Rabi’ul Awwal tahun ke-54 dari tahun kelahirannya atau tahun 13 kenabian, yang bertepatan dengan 13 September 622 M.

Dari data di atas kita dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa selama hidup di Mekah sebagai Nabi & Rasul, beliau telah “mengalami” Asyura sebanyak 11 kali. Selama periode Mekah ini, beliau telah menyikapi Asyura dengan melaksanakan shaum.

عَن عَائِشَةَ رَضِي الله عَنْهَا قَالَتْ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَصُومُهُ قُرَيْشٌ فِي الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُولُ اللهِ  صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ
Dari Aisyah, ia berkata, “Hari Asyura adalah waktunya shaum orang-orang Quraisy di zaman jahiliyah dan Rasulullah Saw. pun menshauminya…” H.r. Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, II:704, No. 1898.  
عَنِ ابْنِ عُمَرَ : أَنَّ أَهْلَ الْجَاهِلِيَّةِ كَانُوا يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَامَهُ ، وَالْمُسْلِمُونَ قَبْلَ أَنْ يُفْرَضَ رَمَضَانُ
Dari Ibnu Umar (ia berkata), “Sesungguhnya kaum jahiliyah melakukan shaum pada hari Asyura dan sesungguhnya Rasulullah Saw. beserta kaum muslimin melaksanakan shaum itu sebelum diwajibkannya shaum Ramadhan” H.r. Al-Baihaqi, as-Sunan al-Kubra, IV:289, No. 8195.

Setelah datang perintah berhijrah kepada Nabi saw. untuk, maka beliau melaksanakan perintah itu dan ditemani oleh Abu Bakar. Imam at-Thabari dan Ibnu Ishaq menyatakan, “Sebelum sampai di Madinah (waktu itu bernama Yatsrib), Rasulullah saw. singgah di Quba pada hari Senin 12 Rabi’ul Awwal tahun 13 kenabian/24 September 622 M  waktu Dhuha (sekitar jam 8.00 atau 9.00). Di tempat ini, beliau tinggal di keluarga Amr bin Auf selama empat hari (hingga hari Kamis 15 Rabi’ul Awwal/27 September 622 M. dan membangun mesjid pertama (yang disebut mesjid Quba). Pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M, beliau berangkat menuju Madinah. Di tengah perjalanan, ketika beliau berada di Bathni wadin (lembah di sekitar Madinah) milik keluarga Banu Salim bin ‘Auf, datang kewajiban Jumat (dengan turunnya ayat 9 surat al-Jum’ah). Maka Nabi salat Jumat bersama mereka dan khutbah di tempat itu. Inilah salat Jumat yang pertama di dalam sejarah Islam. Setelah melaksanakan salat Jumat, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Madinah”. (Lihat,Tarikh at-Thabari, I:571; Sirah Ibnu Hisyam, juz III, hal. 22; Tafsir al-Qurthubi, juz XVIII, hal. 98).

Keterangan tersebut  menunjukkan bahwa Nabi tiba di Madinah pada hari Jumat 16 Rabi’ul Awwal/28 September 622 M. Sedangkan ahli tarikh lainnya berpendapat hari Senin 12 Rabi’ul Awwal/5 Oktober 621 M, namun ada pula yang menyatakan hari Jumat 12 Rabi’ul Awwal/24 Maret 622 M.

Terlepas dari perbedaan tanggal dan tahun, baik hijriah maupun masehi, namun para ahli tarikh semuanya bersepakat bahwa hijrah Nabi terjadi pada bulan Rabi’ul Awwal, bukan bulan Muharram (awal Muharram ketika itu jatuh pada tanggal 15 Juli 622 M).

Memasuki bulan Muharram tahun ke-2 hijriah, Nabi saw. mendapati orang-orang Yahudi di Madinah melaksanakan shaum pada hari Asyura, maka beliau bertanya kepada mereka mengenai hal itu, lantas mereka menjawab, “Pada hari ini Allah Swt. pernah menyelamatkan Nabi Musa dan Bani Israil atas (kejaran) Fir’aun, maka Musa menshauminya.” Rasulullah Saw. menjawab, “Kamilah yang paling berhak dengan Musa.” Kemudian beliau shaum dan memerintah para shahabat agar menshauminya. Demikian sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Bukhari (Lihat, Shahih al-Bukhari, II:704, No. 1900)

Perintah shaum Asyura pada masa awal hijrah itu dipertegas oleh keterangan Abu Musa sebagai berikut:

عَنْ أَبِى مُوسَى - رضى الله عنه - قَالَ كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « صُومُوهُ أَنْتُمْ ».
Dari Abu Musa Ra., ia berkata, “Hari Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan dijadikan sebagai hari raya. Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Shaumlah kalian pada hari itu.” H.r. Muslim, Shahih Muslim, II:796, No. 1131

Kemudian Aisyah menjelaskan:
فَلَمَّا فُرِضَ رَمَضَانُ تَرَكَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
Ketika difardhukan shaum Ramadhan, beliau meninggalkannya (tidak shaum). Beliau bersabda, “Barangsiapa yang hendak shaum, maka shaumlah. Dan barangsiapa yang hendak berbuka, maka berbukalah.” H.r. Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, III:1434, No. 3727.

Perkataan Aisyah di atas diperkuat oleh keterangan Ibnu Umar sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ بَعْدَمَا نَزَلَ صَوْمُ رَمَضَانَ : مَنْ شَاءَ صَامَهُ ، وَمَنْ شَاءَ أَفْطَرَهُ.
“Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda—tentang shaum Asyura setelah turun kewajiban shaum Ramadhan—‘Barangsiapa yang hendak shaum (maka shaumlah). Dan barangsiapa yang hendak berbuka (maka berbukalah).” H.r. Ibnu Hiban, Shahih Ibnu Hiban, VIII:387, No. 3622.

Dari berbagai keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa pada mulanya—ketika tahun pertama

Sikap Orang Syi’ah Terhadap Asyura

Orang Syiah menjadikan Asyura sebagai hari berkabung, duka cita, dan menyiksa diri sebagai ungkapan dari kesedihan dan penyesalan. Pada setiap Asyura, mereka memperingati kematian Husen dan melakukan perbuatan-perbuatan yang tercela seperti berkumpul, menangis, meratapi Husen secara histeria, membentuk kelompok-kelompok untuk berkeliling di jalan-jalan dan di pasar-pasar sambil memukul badan mereka dengan rantai besi, melukai kepala dengan pedang, mengikat tangan dan sebagainya. (Lihat, At-Tasyayyu’ Wa asy-Syi’ah, karya Ahmad al-Kisrawiy Asy-Syi’iy, Tahqiq Dr. Nasyir Al-Qafari, hal. 141)

Menurut pengakuan ulama mereka, perbuatan ini adalah usaha mereka dalam menebus dosa-dosa orang-orang Syi’ah yang terdahulu, yang karena perbuatan mereka, Husen sampai mati terbunuh (syahid) di Karbala.

Adapun asal muasal kemunculan bid’ah yang demikian itu telah dijelaskan oleh Syekh Islam Ibn Taimiyah sebagai berikut:
وكانت الكوفة بها قوم من الشيعة المنتصرين للحسين وكان رأسهم المختار بن أبي عبيد الكذاب وقوم من الناصبة المبغضين لعلي رضي الله عنه وأولاده ومهم الحجاج بن يوسف الثقفي وقد ثبت في الصحيح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال سيكون في ثقيف كذاب ومبير فكان ذلك الشيعي هو الكذاب وهذا الناصبي هو المبير فأحدث أولئك الحزن وأحدث هؤلاء السرور ... وهذه بدعة أصلها من المتعصبين بالباطل على الحسين رضي الله عنه وتلك بدعة أصلها من المتعصبين بالباطل له وكل بدعة ضلالة ولم يستحب أحد من أئمة المسلمين الأربعة وغيرهم لا هذا ولا هذا ولا في شيء من استحباب ذلك حجة شرعية
Dulu di Kufah terdapat kelompok Syiah, yang mengkultuskan Husen. Pemimpin mereka adalah Al-Mukhtar bin Ubaid Ats-Tsaqafi Al-Kadzab (Sang pendusta). Ada juga kelompok An-Nashibah (penentang), yang membenci Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Salah satu pemuka kelompok An-nashibah adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Dan terdapat hadis yang shahih dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda,
سَيَكُونُ فِي ثَقِيفٍ كَذَّابٌ وَمُبِيرٌ
‘Akan ada seorang pendusta dan seorang perusak dari bani Tsaqif.’ (HR. Muslim)

Si pendusta adalah Al-Mukhtar bin Ubaid – gembong Syiah – sedangkan si perusak adalah Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Orang Syiah menampakkan kesedihan di hari Asyura, sementara orang Khawarij menampakkan kegembiraan.

Bid’ah gembira berasal dari manusia pengekor kebatilan karena benci Husain Ra, sementara bid’ah kesedihan berasal dari pengekor kebatilan karena cinta Husain. Dan semuanya adalah bid’ah yang sesat. Tidak ada satupun ulama besar empat madzhab dan ulama lainnya yang menganjurkan untuk mengikuti salah satunya. Demikian pula tidak ada dalil syar’i yang menganjurkan melakukan hal tersebut. (Lihat, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyah, IV:333-334)

Dalam perkembangan Syiah selanjutnya, ekspresi kesedihan itu diwujudkan dalam beragam bentuk ritual, antara lain pada sepuluh hari pertama bulan Muharram, di sebagian negara seperti Iran, sebagian wilayah Pakistan dan Irak, cahaya dimatikan, orang-orang keluar rumah, anak-anak memenuhi jalan, mereka meneriakkan: wahai Husein, wahai Husein…bunyi gendang terdengar di mana-mana. Ada juga yang menusuk dan menyayat tubuhnya dengan pedang. Sebagai bentuk belasungkawa yang mendalam atas kematian Husein. Pada saat yang sama, tokoh mereka berkhutbah menyampaikan  kebaikan- kebaikan Husein dan mencela para sahabat lainnya. Mereka mencela Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, dan Utsman bin Affan.

Sementara itu, ketika tanggal 10 Muharram (hari Asyura), dihidangkan berbagai makanan khusus. Semua orang keluar rumah, berkumpul di satu tempat yang disebut ‘tanah suci karbala’. Di sinilah mereka melampiaskan berbagai bentuk kesyirikan, thawaf mengelilingi kuburan, mencari berkah dengan mengusap-usap berbagai tempat yang mereka anggap suci, sambil mendendangkan lagu dan menabuh rebana.

Berbagai rekaman kegiatan mereka tersebar di internet. Anda yang ingin melihat gambar ritual Syiah, bisa mengakses di google atau youtube dengan kata kunci: كربلاء

Untuk menguatkan motifasi dan cara memperingati hari tersebut, ulama Syi’ah telah merekayasa hadis-hadis palsu dengan memanipulasikan nama Ahlul Bait dalam usaha mereka, di antara hadisnya sebagai berikut:

إن من بكى على الحسين أو تباكى غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر
“Barang siapa menangis atau menangis-tangiskan dirinya atas kematian Husain, maka Allah akan mengampuni segala dosanya baik yang sudah dilakukkan maupun yang akan dilakukan.” (Lihat, asy-Syi’ah wa at-Tashhih ash-Shara’ baina asy-Syi’ah wa at-Tasyayu’, hal. 93) 

كل الجزع والبكاء مكروه إلا الجزع والبكاء لقتل الحسين
“Setiap kesedihan dan tangisan adalah tercela kecuali kesedihan dan tangisan karena terbunuhnya Huisen.” (Lihat, Amaliy Syekh ath-Thusi, I:163, bab 7, hadis No. 20; Wasaa’il asy-Syi’ah, IV:505, bab 66, hadis No. 10; Bihar al-Anwar, XXXXIV:280, hadis No. 9; XXXXV:312, hadis No. 14)

ان البكاء والجزع مكروه للعبد في كل ما جزع ما خلا البكاء على الحسين بن على (ع) فانه فيه مأجور
“Sesungguhnya tangisan dan kesedihan adalah tercela bagi hamba pada setiap kesedihan apapun kecuali tangisan atas Huisen bin Ali, karena tangisan padanya akan diberi pahala.” (Lihat, Kaamil az-Ziyarat, hal. 100, bab 32, Wasaa’il asy-Syi’ah, XIV:505, bab 66, hadis No. 13; Bihar al-Anwar, XXXXIV:280, hadis No. 9; XXXXV:312, hadis No. 14)

Selain riwayat-riwayat di atas, masih banyak lagi riwayat-riwayat palsu yang mereka rekayasa. Kurang lebih 458 riwayat, yang menerangkan kewajiban menziarahi makam para imam Syi’ah. Bahkan dari jumlah tersebut, 338 riwayat di antaranya dikhususkan mengenai kebesaran dan keutamaan serta pahala besar bagi peziarah makam Imam Husen Ra. atau ke Karbala, di antaranya:

إنّ زيارة قبر الحسين تعدل عشرين حجّة، وأفضل من عشرين عمرة وحجّة
“Sesungguhnya ziarah ke makam Husen pahalanya sebanding dengan haji 20 kali, dan lebih utama daripada 20 kali umrah dan haji.” (Lihat, Furu’ al-Kafiy, I:324; Tsawab al-A’mal , karya Ibnu Babawaih, hal. 52; Tahdzib al-Ahkam, karya at-Thusiy, II:16; Kaamil az-Zayarat, karya al-Qummiy, hal. 161; Wasaa’il asy-Syi’ah, karya al-Hurr al-‘Amiliy, X:348)

من أتى قبر الحسين عليه السّلام عارفًا بحقّه كان كمن حجّ مائة حجّة مع رسول الله صلى الله عليه وسلم 
“Siapa yang ziarah ke makam Husen As. dalam keadaan mengenal haqnya, dia bagaikan orang yang berhaji 100 kali bersama Rasulullah saw. (Lihat, Tsawab al-A’mal , karya Ibnu Babawaih, hal. 52; Wasaa’il asy-Syi’ah, karya al-Hurr al-‘Amiliy, X:350)

من زار الحسين عليه السلام يوم عاشوراء حتى يظل عنده باكيًا لقي الله عز وجل يوم القيامة بثواب ألفي ألف حجة، وألفي ألف عمرة، وألفي ألف غزوة...
“Barang siapa menziarahi Husen  pada hari Asyura hingga terus-menerus menangis di sisinya, niscaya ia bertemu dengan Allah pada hari kiamat dengan membawa pahala haji 2 juta kali, pahala umrah 2 juta kali, pahala perang 2 juta kali…” (Lihat, Bihar al-Anwar, karya al-Majlisiy,  100:290; Kaamil az-Zayarat, karya al-Qummiy, hal. 176)

من أتى قبر الحسين عارفًا بحقّه في غير يوم عيد كتب الله له عشرين حجّة وعشرين عمرة مبرورات مقبولات.. ومن أتاه في يوم عيد كتب الله له مائة حجّة ومائة عمرة.. ومن أتاه يوم عرفة عارفًا بحقّه كتب الله له ألف حجّة وألف عمرة مبرورات متقبّلات
“Siapa yang ziarah ke makam Husen As. bukan pada hari ied—dalam keadaan mengenal haqnya—niscaya  Allah mencatat baginya pahala 20 kali haji dan 2o kali umrah yang mabrur lagi maqbul…dan siapa yang mendatanginya pada hari ied, niscaya Allah mencatat baginya pahala 100 kali haji dan 100 kali umrah… dan siapa yang mendatanginya pada hari Arafah—dalam keadaan mengenal haqnya—, niscaya Allah mencatat baginya pahala 1000 kali haji dan 1000 kali umrah… yang mabrur lagi maqbul … (Lihat, Furu’ al-Kafiy, I:324; Tsawab al-A’mal, karya Ibnu Babawaih, hal. 50; Man Laa Yahdhuruh al-Faqih, karya Ibnu Babawaih, I:182;Tahdzib al-Ahkam, karya at-Thusiy, II:16; Kaamil az-Zayarat, karya al-Qummiy, hal. 169; Wasaa’il asy-Syi’ah, karya al-Hurr al-‘Amiliy, X:359)

Ja’far ash-Shadiq berkata:
لو أنّي حدّثتكم بفضل زيارته وبفضل قبره لتركتم الحجّ رأسًا وما حجّ منكم أحد، ويحك أما علمت أنّ الله اتّخذ كربلاء حرمًا آمنًا مباركًا قبل أن يتّخذ مكّة حرمًا..
“Sekiranya saya menceritakan kepada kalian tentang keutamaan menziarahinya dan keutamaan kuburannya niscaya kalian meninggalkan haji dan tidak seorang pun di Antara kalian melaksanakan haji. Adapun saya tahu bahwa Allah telah menjadikan Karbala sebagai tanah haram yang aman lagi diberkati sebelum Dia menjadikan Mekah tanah haram.” (Lihat, Bihar al-Anwar, karya al-Majlisiy,  101:33; Kaamil az-Zayarat, karya al-Qummiy, hal. 266)

Demikianlah perilaku gerombolan Syiah Rafidhah, sekelompok orang yang membangun agama dan keyakinannya berdasarkan kedustaan tokoh dan pemuka Syiah. Orang-orang yang beraqidah sesat. (Al-Bida’ Al-Hailiyah, Hal. 56 – 57).

Semoga Allah menjauhkan dan menyelamatkan kaum muslimin dari pengaruh buruk mereka. Dan kita wajib berikhtiar untuk mengawal kaum muslimin dari hal itu dengan segenap jiwa raga.



Membaca Tragedi Karbala Secara Jernih

Apabila membicarakan tentang hari Asyura (10 Muharam) maka kita tidak dapat menghindarkan diri dari pembicaraan tentang peristiwa Karbala yang begitu menyayat hati. Peristiwa tersebut merupakan kisah di mana Husen Ra.—cucu  Rasulullah saw. dan anak Ali Ra.—telah dibunuh dengan kejam di sebuah tempat yang bernama Karbala, di Irak.

Rentetan dari peristiwa ini terdapat upacara-upacara khusus yang diadakan pada Hari Asyura dengan cara yang amat bertentangan dengan syariat Islam. Lebih jauh dari itu, kelompok Syiah juga telah mempergunakan peristiwa Karbala ini demi meraih simpati umat Islam kepada kelompok mereka bahwa merekalah satu-satunya kelompok yang membela Ahlul Bait (keluarga Rasulullah), tentu saja Ahlu Bait dalam konsep mereka.

Karena itu, tragedi Karbala merupakan persoalan yang memberi peluang kelompok Syi’ah mempermainkan opini banyak orang. Pada peluang yang sama mereka pun berupaya merancukan sejarah umat ini. Pergulatan yang terjadi antara tokoh yang dilambangkan sebagai Syi’ah, yaitu Husen, di satu pihak, dengan Yazid yang dilambangkan sebagai tokoh Ahlus Sunah di pihak yang lain. Seperti itulah opini yang hendak dibangun kelompok Syi’ah berkaitan pergulatan tersebut.

Padahal, sejatinya Husen Ra., juga termasuk salah seorang pimpinan Ahlus Sunah. Keyakinan Ahlus Sunah terhadap beliau, ialah bahwa beliau mati sebagai syahid, beliau dimuliakan oleh Allah dengan mati sebagai syuhada, dan Allah menghinakan orang yang membunuh beliau. Jadi, kasus pembunuhan beliau itu merupakan musibah besar. Dalam kondisi demikian Ahlus Sunah pun merujuk kepada firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ, الَّذِينَ إِذَا أَصَابَتْهُمْ مُصِيبَةٌ قَالُوا إِنَّا ِللهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ. أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِنْ رَبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُهْتَدُونَ.
"Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan, "Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raa-ji`uun" Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah 155-157).

Sehubungan dengan itu, ketika kita membicarakan peristiwa Karbala kita dituntut setidaknya untuk melakukan dua hal:
Pertama, kita perlu selektif terhadap berbagai riwayat yang mengisahkan tragedi itu—yang bertebaran dalam kitab-kitab tarikh (sejarah)—karena sebagian besar riwayat tentang peristiwa menyedihkan ini adalah kebohongan belaka. Sebagian lagi dhaif dan ada juga yang shahih. Riwayat yang dinyatakan shahih oleh para ulama ahli hadis yang bersesuaian dengan kaidah ilmiah dalam ilmu hadis, inilah yang wajib dijadikan pedoman dalam mengetahui apa yang terjadi sebenarnya. Dari sini, kita dapat memahami betapa sanad itu sangat penting untuk membungkam para pendusta dan membongkar niat busuk mereka. Dalam konteks inilah, Syekh Islam Ibnu Taimiyyah telah mengingatkan:

والذين نقلوا مصرع الحسين زادوا أشياء من الكذب كما زادوا في قتل عثمان وكما زادوا فيما يراد تعظيمه من الحوادث وكما زادوا في المغازي والفتوحات وغير ذلك والمصنفون في أخبار قتل الحسين منهم من هو من أهل العلم كالبغوي وابن أبي الدنيا وغيرهما ومع ذلك فيما يروونه اثار منقطعة وأمور باطلة وأما ما يرويه المصنفون في المصرح بلا إسناد فالكذب فيه كثير

"Orang-orang yang meriwayatkan peristiwa gugurnya Husen Ra. telah memberikan tambahan dusta, sebagaimana juga mereka telah menambahkan dusta pada peristiwa pembunuhan terhadap Usman Ra, sebagaimana mereka juga memberikan tambahan cerita (dusta) pada peristiwa-peristiwa yang ingin mereka besar-besarkan, seperti dalam riwayat mengenai peperangan, penaklukan dan lain sebagainya. Para penulis berita tentang pembunuhan Husen Ra, ada di antara mereka sebagai ahli ilmu (ulama) seperti al-Baghawi dan Ibnu Abi Dun-ya dan lain sebagainya. Namun demikian, di antara riwayat yang mereka sampaikan ada yang terputus sanadnya dan beberapa perkara batil. Sedangkan yang menyampaikan cerita tentang peristiwa ini dengan tanpa sanad, kedustaannya sangat banyak" (Lihat, Minhâj as-Sunnah an-Nabawiyyah, IV:334)

Kedua, focus peristiwa tidak hanya pada peristiwa pembunuhan itu saja, melainkan harus mengikuti episode sejarah sebelumnya yang memberi kita gambaran utuh tentang bagaimana peristiwa itu terjadi. Pada umumnya, episode sebelum peristiwa Karbala terjadi sangat jarang diulas, kelompok mereka yang selalu mengulas dan menganalisa kisah Karbala jarang menyinggung peristiwa yang terjadi sebelumnya, yang mengakibatkan cucu Nabi ini dibunuh. Ini menimbulkan tanda tanya, dan kesan yang ditangkap adalah episode ini sengaja untuk tidak terlalu dibahas panjang lebar. (Bandingkan dengan versi Syiah tentang peristiwa itu pada http://www.majulah-ijabi.org/9/post/2012/11/mengenal-lebih-dekat-fakta-karbala.html)

Perlu dipahami oleh kita bersama, bahwa satu peristiwa tidak bisa lepas dari peristiwa sebelumnya sebagai satu rangkaian peristiwa yang saling berhubungan, tentunya tidak bisa dipisahkan begitu saja, apa yang terjadi saat ini adalah bagaikan memisahkan ayat dan sabab nuzulnya. Memisahkan peristiwa Karbala dengan peristiwa-peristiwa yang sebelumnya terjadi, yang akhirnya ikut menyebabkan terjadinya pembantaian Karbala. Tapi sayang peristiwa itu seolah terkubur di telan bumi, jarang kita mendengar tentang peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi dan merangkai pembantaian Karbala. Barangkali bisa kita mulai dari pertanyaan penting, yang sayangnya jarang kita dengar. Barangkali akal sehat kita sering tertutupi oleh “kesedihan mereka yang mendalam”, yang barangkali dibuat-buat oleh mereka sendiri, dengan mendengarkan kisah-kisah sedih pembunuhan Husen, dengan diberi bumbu suara yang menyayat hati, dan lain- lain akhirnya kita lupa bertanya:
Mengapa peristiwa itu terjadi? Peristiwa apa yang menjadi latar belakang peristiwa itu? mengapa Husen berangkat ke Karbala? Barangkali pertanyaan terakhir ini menjadi titik awal bagi perjalanan kita kali ini untuk menelusuri peristiwa-perstiwa yang melatarbelakangi peristiwa Karbala.

Untuk memenuhi tuntutan di atas, di dalam pembahasan menentang Syi’ah ini, sedapat mungkin kami mempergunakan riwayat-riwayat mereka sendiri yang tersusun di dalam kitab-kitab sumber mereka, baik ortodoks maupun moderen, yang dianggap terpercaya dan dijadikan pegangan, dan yang dijadikan dalil di kalangan mereka sendiri.

Latar Belakang Peristiwa

Peristiwa ini diawali ketika Yazid menggantikan Muawiyah (602 – 680 M) yang wafat dan segera meminta agar Husen berbaiat. Namun Husen menolak bersama Abdullah bin Zubair, dan keduanya pergi diam-diam ke kota Mekah. Seperti kita ketahui bahwa Husen Ra.adalah salah satu figur umat Islam karena hubungan kekerabatannya dengan Nabi, seluruh umat Islam mencintainya, dari dulu hingga hari ini, hanya orang menyimpang dan menyimpan penyakit di hatinya bisa membenci keluarga Nabi. Hingga ketika dia menolak berbaiat maka kabar beritanya tersebar ke segala penjuru, di antara mereka yang mendengar kabar berita mengenai Husen Ra.adalah warga Kufah. Lalu mereka mengirimkan surat-surat kepada Husen Ra.mengajaknya untuk datang ke kufah dan memberontak pada Yazid. Surat-surat itu begitu banyak berdatangan kepada imam, hingga jumlahnya mencapai puluhan ribu.

Dr. Ahmad Rasim an-Nafis—seorang penulis syiah—menerangkan: "Surat-surat penduduk Kufah kepada Husen a.s. menyatakan: "Kami tidak memiliki Imam, oleh karena itu datanglah, semoga Allah berkenan mempersatukan kita di atas kebenaran." Surat-surat itu mengandung berbagai tanda tangan menghimbau kedatangan untuk menerima bai'at dan memimpin umat untuk gerakan menghadapi para pendurhaka Bani Umayah. Begitulah, kian sempurnalah unsur-unsur dasar bagi gerakan Huseniyah. Di antaranya: . . . Adanya hasrat mayoritas masyarakat yang menuntut reformasi dan mendorong Husen Ra. untuk segera memegang tampuk kepemimpinan bagi gerakan tersebut. Juga peristiwa dorongan-dorongan di Kufah ini diungkapkan di dalam surat-surat baiat dari penduduk Kufah." (Lihat, 'Alaa Khuthaa al-Husain, hal. 94)

Muhammad Kazhim al-Qazwaini—seorang ulama syiah—menyatakan: "Penduduk Irak menulis surat kepada Husen, mengirim utusan, dan memohon agar beliau berangkat ke negeri mereka untuk menerima baiat sebagai khalifah, sehingga terkumpul pada Husen sebanyak 12.000 surat dari penduduk Irak yang semuanya berisikan satu keinginan. Mereka menulis: "Buah sudah ranum, tanaman sudah menghijau, Anda hanya datang untuk menjumpai pasukan anda yang sudah bersiaga. Anda di Kufah memiliki 100.000 (seratus ribu) pedang. Apabila Anda tidak bersedia datang, maka kelak kami akan menuntut Anda di hadapan Allah." (Lihat, Faaji'ah ath-Thaff, hal. 6)

Seorang ulama syiah, Abbas Al Qummi menerangkan: "Melimpah ruahlah surat-surat sehingga terkumpul pada beliau di dalam satu hari sebanyak 600 surat berisikan janji hampa. Dalam pada itu pun beliau menunda-nunda dan tidak menjawab mereka. Sehingga terkumpul pada beliau sebanyak 12.000 surat.” (Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:430)

Ribuan—tepatnya puluhan ribu—surat yang berdatangan berhasil meyakinkan Husen mengenai kesungguhan penduduk Kufah.  Husen mengutus Muslim bin Aqil untuk mengecek keadaan kota Kufah dan melihat sendiri apa yang terjadi di sana. Dan ternyata benar, sesampainya Muslim disana ternyata banyak orang berbaiat pada muslim untuk “membela” Husen Ra. melawan penguasa zhalim. Mereka menunggu kedatangan sang Imam untuk memimpin mereka.

Kedatangan Muslim di Kufah

Ridha Husen Shubh Al-Husaini—seorang penulis Syi'ah—mengatakan: "Lalu Muslim berangkat dari Mekah pada pertengahan bulan Sya'ban, dan tiba di Kufah selepas lima hari bulan Syawal. Orang-orang Syi'ah berdatangan berbaiat kepadanya, sehingga jumlah mereka mencapai 18.000 orang. Sedang di dalam riwayat asy Sya'bi, jumlah orang yang berbaiat kepadanya mencapai 40.000 orang. (Lihat, asy-Syii'ah wa Asyuura', hal. 167)

Dari situ ia mulai menerima masyarakat. Dan menyebarluaslah seruan agar berbaiat kepada Husen a.s., sehingga jumlah orang-orang yang "bersumpah setia sampai mati" mencapai 40.000 orang. Ada juga yang mengatakan, kurang dari jumlah tersebut. Gubernur Yazid yang berada di Kufah ketika itu adalah an Nu'man bin Basyir. Sebagaimana disifatkan oleh para sejarawan, gubernur ini seorang muslim yang tidak menyukai perpecahan dan lebih mengutamakan kesejahteraan." (Lihat, Siirah al-A’immah al-Itsna 'Asyar, II:57-58).

Seorang ulama Syi'i, Abdur Razaq al-Musawi al-Muqarram menerangkan: "Orang-orang Syi'ah menjumpai Muslim di rumah al Mukhtar dengan sambutan hangat dan menampilkan sikap taat dan patuh. Sikap yang membuat ia lebih gembira dan lebih bersemangat. . .  ., selanjutnya orang-orang Syi'ah pun datang saling berbaiat kepadanya sampai tercatat sejumlah 18.000 orang. Bahkan ada yang mengatakan sampai sejumlah 25.000 orang. Sedang di dalam riwayat asy Sya'bi dinyatakan, orang-orang yang berbaiat kepadanya berjumlah 40.000 orang. Kemudian Muslim menulis surat kepada Husen bersama Abs bin Syabib asy Syakiri, memberitakan kepada beliau tentang kesepakatan penduduk Kufah untuk patuh dan mereka yang menanti-nanti. Di dalamnya ia menyatakan: "Seorang penunjuk jalan tidak akan mendustai keluarganya sendiri. Bahkan sudah terdapat 18.000 orang penduduk Kufah yang berbaiat kepadaku. . ." (Lihat, Maqtal al-Husain, hal. 147. Ma'saah Ihdaa wa Sittiin, karya Abdul Husain al-‘Amiliy, hal. 24)

Seorang tokoh mereka bernama Abbas al-Qumi mengatakan: "Al-Mufid dan mereka yang lain menerangkan: "Masyarakat ber-baiat kepadanya (kepada Muslim bin Uqail) sampai jumlah me-reka mencapai 18.000 orang. Lalu Muslim menulis surat kepada Husein As. memberitahukan kepada beliau tentang 18.000 orang yang berbaiat kepadanya dan memerintahkan agar beliau datang." (Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:436)

Abbas Al Qummi juga menerangkan: "Melalui riwayat yang lalu, membuktikan bahwa orang-orang Syi'ah secara diam-diam menjumpai Muslim di rumah Hani, secara rahasia. Lalu mereka pun saling mengikutinya, dan Muslim menekankan kepada tiap-tiap orang yang berbaiat kepadanya agar tutup mulut dan merahasiakan hal itu, sampai jumlah orang yang berbaiat kepadanya mencapai 25.000 laki-laki. Sementara Ibnu Ziyad masih belum mengetahui posisinya. (Lihat, Muntahaa al-Aamaal, I:437)

Sampai di sini barangkali kita membayangkan bagaimana puluhan ribu orang bersiap siaga untuk menyambut kedatangan Husen, bagaimana mereka mempersiapkan persenjataan untuk “melawan penguasa zhalim” di bawah pimpinan sang Imam. Tapi jangan berhenti membaca di sini, karena ternyata ending kisah tak seindah yang kita bayangkan.