BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Berbicara dan membahas mengenai
politik bagi sebagian orang orang atau kalangan bukan hal yang asing terutama
yang memang secara langsung mempelajari atau bahkan terjun langsung di
dalamnya. Di dalam politik terdapat beberapa macam kegiatan seperti sosialisasi
poltik, partisipasi politik, rekrutmen politik, komunikasi politik dan
mobilisasi politik. Semua kegiatan tersebut dilaksanakan untuk mendukung
berjalan baiknya kegiatan tersebut.
Namun dalam makalah ini penulis akan
membahas mengenai partisipasi politik. Dalam partisipasi politik ini harus
adanya sebuah sosialisasi politik dengan baik. Jika hal ini tidak terlaksana
dengan baik sudah bisa dipastikan proses partisipasi politik tidak akan
berjalan baik.
Sudah menjadi hal yang lumrah
(biasa) ketika masa Pemilihan Umum (Pemilu) baik daerah ataupun Negara banyak
para calon pemimpin kita berlomba-lomba merebut hati rakyat. Banyak cara yang
dilakukan para calon pemimpin untuk merebut hati rakyatnya. Seperti melakukan
kampanye, terjun langsung kelapangan agar merasa dekat dan diakui kehadirannya
sebagai calon pemimpin dan kegiatan-kegiatan lainnya. Namun hal ini tidak
didukung dengan pengetahuan dan kesadaran warganya akan apa arti dari politik
itu sendiri baik dalam keilmuan maupun dalam hal benefit pada pembangunan
negara. Terlebih di Indonesia tidak sedikit warganya yang membenci politik
karena memandang bahwa politik hanya di jadikan sarana merauk keuntungan bagi
kalangan tertentu yang sama sekali tidak tersentuh oleh orang-orang kecil
(warga biasa dengan tingkat ekonomi di bawah rata-rata).
Maka tidak hayal banyak oknum-oknum
tertentu memanfaatkan kurangnya pengetahuan akan politik dan
pandangan-pandangan negatif terhadap politik dengan cara tidak sehat. Yang kemudian
menjadi sebab partisipasi politik pun berjalan dengan tidak sehat.
Seakan sudah menjadi rahasia umum
jika banyak para oknum agar mereka terpilih sebagai pejabat baik legislatif
maupun eksekutif dengan menggunakan cara yang tidak baik seperti money politic
dan lain-lain.Inilah yang mengakibatkan Perpolitikan Indonesia tidak stabil
karena memang dihuni oleh orang-orang (oknum) yang memang tidak memahami dengan
baik apa yang di maksud dengan arti politik secara hakiki.
Hal-hal tersebutlah yang menyebabkan
partisipasi langsung dari orang-orang awam politik banyak diperjualbelikan (Money
politic=Serangan fajar). selain masalah money Politic kurang
berjalan dengan baiknya partisipasi politik secara merata juga disebabkan
karena faktor geografis seperti orang-orang pedalaman yang memang sangat sulit
untuk mendapatkan informasi tentang politik bahkan sampai tidak
tersentuh/terdata oleh pihak penyelenggara pemilu (Komisi Pemilihan Umum-KPU).
Ini lah yang akan dibahas oleh penulis yaitu mengapa partisipasi politik tidak
dapat berjalan dengan baik?
1.2. Rumusan
Masalah
Untuk membuat bahasan tetap fokus.
Maka untuk membatasi bahasan yang akan dibahas dalam makalah ini,
Penyusun merumuskan makalah ini dengan bahasan yang mencakup masalah sebagai
berikut :
- Memahami Partisipasi Politik secara teoritis
- Bentuk partisipasi Politik
- Partisipasi Masyarakat dalam Politik Sebagai Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi Di Indonesia.
- Partisipasi Politik pada Pemilihan Umum (Pemilu)
1.3.
Sistematika Pembahasan
Dalam penulisan makalah ini penyusun
menyajikan pembahasan makalah dalam 3 bab, adapun sistematika penulisannya
adalah sebagai berikut :
BAB I yaitu pendahuluan yang meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah, sistematika pembahasan, dan metode penyusunan.
BAB II yaitu pembahasan yang memaparkan tentang
Memahami Partisipasi Politik secara teoritis, jenis partisipasi Politik,
sifat-sifat partisipasi politik, Partisipasi Masyarakat Dalam Politik
Sebagai Implementasi Nilai-Nilai Demokrasi Di Indonesia, dan Partisipasi
Politik pada Pemilihan Umum (Pemilu).
BAB III yaitu penutup yang meliputi kesimpulan dari
makalah dan saran.
1.4.
Metode Penyusunan
Dalam pembuatan makalah ini dilakukan
pengumpulan data yang dibutuhkan untuk menunjang kelengkapan penulisan makalah
ini, penyusun menggunakan metode studi pustaka melalui buku-buku/referensi yang
ada di beberapa perpustakaan, dan untuk lebih melengkapi data-data yang ada di
dalam makalah ini penyusun juga melakukan searching (browsing) Artikel dan
jurnal dari internet sebagai bahan tambahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Memahami Partisipasi Politik Secara Teoritis
Partisipasi politik adalah kegiatan warganegara yang
bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Partisipasi politik
dilakukan orang dalam posisinya sebagai warganegara, bukan politikus ataupun
pegawai negeri dan sifat partisipasi politik ini adalah sukarela, bukan
dimobilisasi oleh negara ataupun partai yang berkuasa.
Secara teoritis partisipasi politik
menurut Herbert Mc Closky “The term political participation will
refer to those voluntary activities by which members of a society share in the
selection of rulers and, direcly or indirectly, in the formation of public
policy” Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan
penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan
kebijakan umum.
Dalam hubungan dengan Negara-Negara
baru Samuel P. Hunington dan Joan M. Nelson dalam karyanya No Easy
Choice: Political Participation in develoving Countries memberi tafsiran
yang lebih luas dengan memasukan secara eksplisit tindakan illegal dan
kekerasan. “By political participation “We mean activity by private citizens
designed to influence government decision making. Participation may be
individual or collective, organized or spontaneous, sustained or sporadic,
peaceful or violent, legal or illegal, effective or ineffective”. Menurut
mereka Partisipasi Poilitik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh
pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir
atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal
atau ilegal, efektif atau tidak efektif.
Ada juga dari ahli politik dalam
negeri seperti yang dungkapkan oleh Prof. Miriam Budiharjo bahwa
Partisipasi politik merupakan kegiatan seseorang/sekelompok orang untuk ikut
serta secara aktif dalam kehidupan politik dengan cara memilih pimpinan Negara
dan secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Secara singkat partisipasi politik
merupakan keikutsertaan seseorang atau kelompok untuk turut serta dalam proses
pemilihan penguasa (pemimpin/pejabat) baik secara langsung seperti pemilihan
Umum (Pemilu), memasang symbol negara (bendera merah putih) ketika hari ulang
tahun kemerdekaan Republik Indonesia atau memasang bendea setengah tiang ketika
ada tokoh penting nasional yang meninggal ataupun secara tidak langsung seperti
kegiatan mentaati peraturan-peraturan pemerintah atau kebijakan-kebijakan
pemerintah serta menerima dan melaksanakan setiap keputusan yang di buat oleh
pemerintah.
Maka dari itu pada prinsipnya setiap
warga Negara terutama di Indonesia harus semestinya turut berpartisipasi dalam
politik seperti memilih kepala Negara atau Kepala Daerah. Karena dengan hal tersebut
merupakan perwujudan bahwa kita adalah WNI (Warga Negara Indonesia) dan
perwujudan bahwa kita turut serta menentukan masa depan Negara atau masa depan
suatu daerah dengan cara memilih pemimpinnya.
Partisipasi politik itu sendiri
secara nasional dilakukan pada tahun 2006 yaitu dilakukannya Pemilihan Umum
(Pemilu) di mana warga negara Indonesia dapat memilih dan menentukan kepala
kepala negaranya secara langsung. ketika itu Susilo Bambang Yudhoyono dengan
wakilnya Jusuf kalla terpilih sebagai Presiden dan wakil presiden yang disebut
dengan Kabinet Indonesia bersatu jilid I, ketika masa jabatan kabinet tersebut
berakhir sang presiden terpilih kembali sebagai kepala Negara (Presiden) dengan
wakil Presidennya yang baru yaitu Boediono era SBY-Boediono ini disebut dengan
Kabinet Indonesia bersatu jilid II sesuai dengan visi misi ketika masa kampanye
pencalonan mereka yaitu Lanjutkan! Maksudnya melanjutkan pembangunan Negara
yang sebelumnya dilakukan bersama Yusuf kalla.
B. Bentuk-bentuk
Partisipasi Politik
Bentuk-bentuk partisipasi politik
yang terjadi di berbagai negara dapat dibedakan dalam kegiatan politik yang
berbentuk konvensional dan nonkonvensional termasuk yang mungkin legal (seperti
petisi) maupun ilegal (cara kekerasan atau revolusi). Bentuk-bentuk dan
frekuensi partisipasi politik dapat dipakai sebagai ukuran untuk menilai
stabilitas sistem politik, integritas kehidupan politik, kepuasan atau
ketidakpuasan warga negara. Berikut ini adalah bentuk-bentuk partisipasi
politik menurut Almond :
Konvensional
|
Nonkonvensional
|
|
1. Pengajuan petisi
2. Berdemonstrasi
3. Konfrontasi
4. Mogok
5.Tindak kekerasan politik terhadap
harta benda: perusakan, pemboman, pembakaran.
6.Tindak kekerasan politik
terhadap manusia: penculikan, pembunuhan, perang gerilya, revolusi.
|
Dalam hal partisipasi politik,
Rousseau menyatakan bahwa “Hanya melalui partisipasi seluruh warga negara dalam
kehidupan politik secara langsung dan bekelanjutan, maka negara dapat terikat
ke dalam tujuan kebaikan sebagai kehendak bersama.”
Bentuk partisipasi politik secara
hierarkis oleh Rush dan Althoff (1990:124):
a)
Menduduki jabatan politik atau
administrasi
b)
Mencari jabatan politik atau
administrasi
c)
Keanggotaan aktif suatu organisasi
politik
d)
Keanggotaan pasif suatu organisasi
politik
e)
Keanggotaan aktif suatu organisasi
semu politik
f)
Keanggotaan pasif suatu organisasi
semu politik
g)
Partisipasi dalam rapat umum,
demonstrasi, dan sebagainya
h)
Partisipasi dalam diskusi politik
informasi, minat umum dalam politik
i)
Voting (pemberian suara)
j)
Apathi total.
Berbagai bentuk partisipasi politik
tersebut dapat dilihat dari berbagai kegiatan warga negara yang mencakup antara
lain:
- Terbentuknya organisasi-organisasi politik maupun organisasi masyarakat sebagai bagian dari kegiatan sosial, sekaligus sebagai penyalur aspirasi rakyat yang ikut menentukan kebijakan negara.
- Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
- Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai kontrol sosial maupun pemberi masukan terhadap kebijakan pemerintah.
- Munculnya kelompok-kelompok kontemporer yang memberi warna pada sistem input dan output kepada pemerintah, misalnya melalui unjuk rasa, petisi, protes, demonstrasi, dan sebagainya.
Menurut Samuel P. Huntington dan
Joan Nelson dalam karya penelitiannya No Easy Choice: Political
Participation in Developing Countries, partisipasi yang bersifat mobilized
(dipaksa) juga termasuk ke dalam kajian partisipasi politik. Partisipasi
sukarela dan mobilisasi hanya dalam aspek prinsip, bukan kenyataan tindakan:
Intinya baik sukarela ataupun dipaksa, warganegara tetap melakukan partisipasi
politik.
Jika model partisipasi politik
bersumber pada faktor “kebiasaan” partisipasi politik di suatu zaman, maka
bentuk partisipasi politik mengacu pada wujud nyata kegiatan politik tersebut.
Samuel P. Huntington dan Joan Nelson membagi bentuk-bentuk partisipasi politik
menjadi :
- Kegiatan Pemilihan yaitu kegiatan pemberian suara dalam pemilihan umum, mencari dana partai, menjadi tim sukses, mencari dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang berusaha mempengaruhi hasil pemilu.
- Lobby yaitu upaya perorangan atau kelompok menghubungi pimpinan politik dengan maksud mempengaruhi keputusan mereka tentang suatu isu.
- Kegiatan Organisasi yaitu partisipasi individu ke dalam organisasi, baik selaku anggota maupun pemimpinnya, guna mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.
- Contacting yaitu upaya individu atau kelompok dalam membangun jaringan dengan pejabat-pejabat pemerintah guna mempengaruhi keputusan mereka, dan
- Tindakan Kekerasan (violence) yaitu tindakan individu atau kelompok guna mempengaruhi keputusan pemerintah dengan cara menciptakan kerugian fisik manusia atau harta benda, termasuk di sini adalah huru-hara, teror, kudeta, revolusi dan pemberontakan.
Kelima bentuk partisipasi politik
menurut Huntington dan Nelson telah menjadi bentuk klasik dalam studi
partisipasi politik. Keduanya tidak membedakan apakah tindakan individu atau
kelompok di tiap bentuk partisipasi politik legal atau ilegal. Sebab itu,
penyuapan, ancaman, pemerasan, dan sejenisnya di tiap bentuk partisipasi
politik.
Keikutsertaan dan ketidak ikutsertaan
dalam pemilu menunjukkan sejauh mana tingkat partisipasi konvensional warga negara.
Seseorang yang ikut mencoblos dalam pemilu, secara sederhana, menunjukkan
komitmen partisipasi warga. Tapi orang yang tidak menggunakan hak memilihnya
dalam pemilu bukan berarti ia tak punya kepedulian terhadap masalah-masalah
publik. Bisa jadi ia ingin mengatakan penolakan atau ketidakpuasannya terhadap
kinerja elite politik di pemerintahan maupun partai dengan cara
golput. Sementara jenis partisipasi politik yang kedua biasanya terkait
dengan aspirasi politik seseorang yang merasa diabaikan oleh institusi
demokrasi, dan karenanya, menyalurkannya melalui protes sosial atau
demonstrasi. Wujud dari protes sosial ini juga beragam, seperti memboikot,
mogok, petisi, dialog, turun ke jalan, bahkan sampai merusak fasilitas umum.
C. Sifat-Sifat Partisipasi Politik
Berdasarkan sifatnya partisipasi politik dibedakan
menjadi dua (Sastroatmodjo; 1995 ) yaitu:
a)
Partisipasi aktif , yaitu warga
negara mengajukan usul kebijakan,
mengajukan alternatif kebijakan, mengajukan saran dan kritik untuk mengoreksi
kebijakan pemerintah, mengajukan tuntutan.
b)
Partisipasi pasif , berupa kegiatan
mentaati peraturan/pemerintah, menerima dan melaksanakan setiap keputusan
pemerintah.
D. Partisipasi Masyarakat Dalam Politik Sebagai Implementasi
Nilai-Nilai Demokrasi Di Indonesia
Partispasi warga negara (Private
Citizen) bertujuan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh
pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau kolektif, terorganisir
atau spontan, sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal,
efektif atau tidak efektif (Samuel P. Huntington dan Joan Nelson, 1977:3).
Partispasi warga negara yang legal bertujuan untuk mempengaruhi seleksi
pejabat-pejabat negara dan/atau tindakan-tindakan yang diambil mereka (Norman
H. Nie dan Sidney Verba, 1975:1). Partisipasi politik merupakan aspek penting
dalam demokrasi karena:
- Keputusan politik yang diambil oleh pemerintah akan menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat. Karena itu masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik.
- Untuk tidak dilanggarnya hak-hak sebagai warga negara dalam setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah
Di Indonesia berpartisipasi politik
dijamin oleh Negara, tercantum dalam UUD 1945 pasal 28 yang berbunyi
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Dan diatur secara jelas dalam
dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 mengenai jaminan hak-hak sipil dan
politik, dimana poin-poin hak yang harus dilindungi oleh Negara mengenai hak
berpendapat, hak berserikat, hak memilih dan dipilih, hak sama dihadapan hukum
dan pemerintahan, hak mendapatkan keadilan.
Seperti partisipasi masyarakat dalam
pemilihan umum, ini merupakan salah satu implementasi nilai-nilai
demokrasi di Indonesia, yang mencerminkan nilai Kebebasan, dimana masyarakat
diberi kebebasan penuh untuk memilih, mendukung calon yang di inginkan. Sebagai
contoh, dari data KPU pada tanggal 9 mei 2009[1]
menunjukan masyarakat Indonesia yang ikut berpartisipasi untuk memilih adalah
lebih dari 104 juta jiwa.
Dalam hal lain masyarakat Indonesia
juga menunjukkan nilai kebebasan demokrasi dalam hal melakukan protes terhadap
pemerintah. Ini menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat dalam politik di
Indonesia mengalami peningkatan. Budiarjo (1996:185) menyatakan dalam
Negara-negara demokratis umumnya dianggap bahwa lebih banyak partisipasi
masyarakat lebih baik. Dalam alam pemikiran ini tingginya tingkat partisipasi
menunjukkan bahwa warga Negara mengikuti dan memahami masalah politik dan ingin
melibatkan diri dalam kegiatan itu.
Sebagai pelaksanaan nilai demokrasi,
partisipasi masyarakat dalam politik memiliki peran penting. Karena dalam
Negara demokrasi semua bersumber pada rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
E. Partisipasi
Politik pada Pemilihan Umum (Pemilu)
Berdasarkan UUD 1945 bab 1 {Pasal 1
ayat 2 kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan menurut undang-undang
Dasar. Dalam demokrasi modern yang mnejalankan kedaulatan itu wakil-wakil
rakyat yang di tentukan sendiri oleh rakyat. Untuk menentukan siapakah yang
akan yang berwenang mewakili rakyat maka dilaksanakanlah Pemilihan Umum
(Pemilu). Pemilihan Umum adalah suatu cara meimilih wakil-wakil rakyat serta
salah satu pelayanan hak-hak azasi warga Negara dalam bidang politik (Syarbaini
: 2002 : 80).
Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia No. 22 tahun 2007 tentang penyelenggarakan pemilihan umun
dinyatakan bahwa pemilihan umum adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, jujur dan adil. Dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Repulbik Indonesia tahun 1945.
Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan
salah satu hak azasi manusia yang sangat principil. Karenanya dalam rangka
pelaksanaan hak-hak azasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk
melaksanakan pemilu. Sesuai dengan azas bahwa rakyatlah yang berdaulat maka
semaunya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannnya. Merupakan
suatu pelanggaran hak azasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilu atau
memperlambat pemilu tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat (kusnardi :1994 ;
324).
Dari beberapa pernyataan tersebut
semestinya partisipasi rakyat dilaksanakan secara bebas, jujur, dan tanpa ada
tekanan dari pihak manapun. Namun hal ini berbanding terbalik dengan fakta
dilapangan. Sudah merupakan rahasia umum jika dalam setiap pemilu atau di
sela-sela kampanye ada saja oknum yang melakukan kecurangan-kecurangan.
terutama mengenai Isu money politic yang kian marak terjadi di tanah air
sehingga memunculkan kekhawatiran sejumlah pihak.
Pemilihan Umum merupakan agenda
penting dalam upaya mewujudkan tata pemerintahan yang demokratis, meskipun
tidak selamanya pemilihan umum yang demokratis akan menghasilkan pemerintahan
yang demokratis, begitu juga sebaliknya. Pemilihan umum merupakan bentuk
legitimasi yang diberikan rakyat kepada individu-individu maupun partai-partai
untuk mewakilinya. Dukungan dan partisipasi rakyat dalam pesta demokrasi ini
menjadi pondasi bagi legitimasi pemerintahan yang terbentuk sesudahnya.
Pemilihan umum sebagai sebuah agenda
politik dalam prosedural demokrasi jelas akan membawa perubahan pada berbagai
sektor. Partai pemenang pemilu yang memegang kebijakan nantinya akan menentukan
kemana arah kapal kebijakan akan berlayar. Akan tetapi perlu diingat bahwa
sebelum pemilihan umum tersebut dilaksanakan tentunya terjadi proses politik
yang mendahuluinya. Proses-proses politik inilah yang kemudian mempengaruhi
bagaimana Pemilihan Umum tersebut berlangsung.
Kondisi-kondisi politik yang
dimaksud disini adalah antara lain bagaimana Partai Politik yang ada pada saat
pemilihan tersebut berlangsung, Sistem kepartaian yang diterapkan, Sistem
Pemilihan Umum yang diterapkan, Partisipasi Politik masyarakat dalam Pemilihan
Umum tersebut, dan bagaimana kondisi sosial ekonomi masyarakat menjelang
Pemilihan Umum tersebut dilaksanakan. Faktor-faktor ini kemudian mempengaruhi
Pemilihan Umum yang dilaksanakan, apakah kemudian dapat berhasil dengan
demokratis menghasilkan pemimpin yang merupakan pilihan rakyat, atau malah
menimbulkan perpecahan yang berujung pada disintegrasi bangsa.
Pemilu merupakan sarana langsung
bagi masyarakat yang cukup usia untuk berpartisipasi dalam memengaruhi
pengambilan keputusan. Tahapan proses pemilu antara lain penetapan daftar
pemilih, tahap pencalonan kandidat, tahap kampanye, tahap pemungutan serta
penghitungan suara, dan hasil perolehan suara sehingga kita dapat menentukan
kandidat yang terpilih. Sistem pemilu di Indonesia harus sesuai dengan prinsip
pemilu yang bebas, langsung, jujur, adil dan rahasia. Sistem pemilu 2010 dapat
dijadikan acuan penilaian sistem pemilu di Indonesia saat ini, sistem pemilu
tahun lalu ini dapat pula dijadikan pedoman untuk mewujudkan sistem pemilu
mendatang yang lebih baik dengan cara menilai dan mengevaluasi. Penilaian
sistem pemilu ini dapat di lihat dari berbagai sudut pandang yaitu kondisi
sosial ekonomi, kondisi lembaga-lembaga politik, proses pemungutan suara,
proses pemilihan kepala daerah, tatacara pemilihan, tingkah laku masyarakat
dalam memilih, partisipasi perempuan dalam partai politik, pendapat masyarakat
mengenai demokrasi, dan munculnya masalah-masalah baru dalam pemilu. Kandidat
yang maju telah diseleksi sebelumnya karena harus memenuhi pesyaratan dan
kriteria sesuai peraturan yang berlaku.
Sistem pemilu saat ini
merencanakan banyak pemilu kepala daerah sehingga dalam melakukan proses
pemungutan suara diperlukan informasi dan tatacara pemilu yang efektif kepada
masyarakat luas. Masyarakat Indonesia pada umumnya telah mampu mengikuti proses
pemilu dan menghormati hasil pemilu, namun pemilu di Indonesia masih banyak
menghadapi kendala-kendala dalam pelaksanaannya. Kendala utama dalam pemilu
yaitu pemberian informasi kepada masyarakat mengenai proses-proses utama dalam
pemilihan kepala daerah. Perlunya peningkatan informasi kepada masyarakat
mengenai proses pemilu yang penting seperti informasi para kandidat, proses
pencalonan kandidat, proses penghitungan suara sampia calon terpilih, kampanye
pemilu yang dilakukan, cara masyarakat mendaftar diri sebagai pemilih, tatacara
yang tepat manandai surat suara, dan dimana serta kapan kita harus memilih.
Kurangnya informasi penting mengenai proses pemilihan ini harus segera
ditangani secara serius karena hal ini sifatnya mutlak harus dimengerti oleh
masyarakat yang memilih dalam pemilu. Maka sebaiknya pembenahan dari dasar oleh
pemerintah harus segera dilakukan misalnya pendidikan dan pemberian informasi
yang lengkap terhadap masyarakat sebagai pemilih. Televisi juga bisa dijadikan
sarana efektif dalam penyampaian informasi pemilu, namun lebih efektif lagi
apabila diiringi dengan pemberian informasi melalui pendidikan formal mengenai
proses pemilu tersebut. Pemberian pendidikan proses pemilu harus memperhatikan
latar belakang masyarakat yang bervariasi agar informasi yang disampaikan dapat
dimengerti oleh semua lapisan masyarakat Indonesia. Untuk meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam pemilu di perlukan sumber informasi seperti
brosur, iklan di media cetak/internet, surat-surat melalui pos, kampanye iklan
di radio, poster, debat/dialog kandidat pemilu dll.
Kepercayaan masyarakat kepada
lembaga-lembaga yang berwenang dalam proses pemilu merupakan faktor
penting dalam pelaksanaan pemilu, sehingga diperlukan peran lembaga-lembaga
pemilu yang efektif dan mampu menjaga nama baiknya. Tingkat kepercayaan
masyarakat pula harus di dukung oleh anggota lembaga-lembaga pemilu yang
memiliki keahlian mengatasi masalah-masalalah pemilu dan mampu bersikap adil
dengan tidak memihak salah satu partai politik. Masyarakat pada umumnya
mengajukan usulan jangka waktu tunggu 5 tahun bagi mantan anggota komisi pemilu
untuk dapat menjadi anggota partai politik, hal ini merupakan antisipasi karena
ditakutkan hubungan anggota yang akrab antara komisi pemilu dengan anggota
partai menimbulkan persekongkolan negatif. Prinsip pemilu yang bebas, langsung,
jujur, adil dan rahasia,” yang mengandung makna bahwa lembaga-lembaga pemilu
harus bertindak netral dan transparan dalam proses pemilu. Kandidat-kandidat
pada pemilu ini melakukan proses kampaye yang merupakan bentuk publikasi kepada
masyarakat dan untuk memengaruhi masyarakat supaya memilih kandidat tersebut.
Hal utama yang harus dilakukan
pemilih yaitu memastikan namanya ada dalam daftar pemilih, namun pada umumnya
telah ada petugas pemilu yang mendatangi tiap rumah untuk mendata. Daftar
pemilih harus akurat sehingga masyarakat harus menunjukkan dokumen sah yaitu
kartu pemilih dan KTP (Kartu Tanda Penduduk) agar proses pemilu berjalan dengan
efektif. Pada praktek pemilihan, masyarakat akan dihadapkan pada prosedur
pemilihan yaitu cara melakukan pengecekan daftar pemilih, dan cara
menandai kartu suara secara benar. Hal tersebut mutlak harus dimengerti oleh
masyarakat, namun real-nya masih banyak masyarakat yang belum paham
dalam melakukan prosedur itu. Masyarakat juga mengalami kebingungan karena cara
untuk menandai surat suara selalu berubah dari satu pemilu ke pemilu yang lain
dan kurangnya informasi mengenai perubahan tersebut. Maka lembaga-lembaga
pemilu harus mulai memusatkan perhatian dalam pemberian informasi yang tepat
terhadap masyarakat untuk menyelesaikan masalah prosedur ini.
Reformasi pemilu mengenai
bertambahnya partisipasi kaum perempuan sebagai calon dalam pesaingan partai
politik mendapat dukungan masyarakat pada umumnya. Reformasi ini didukung oleh
terbukanya pandangan politik dalam persamaan perlakuan gender, mulai adanya
kesadaran bahwa partisipasi kaum perempuan kurang sekali dalam jabatan
politik, dan perlu partisipasi perempuan pada perjanjian-perjanjian
internasional. Reformasi pemilu juga terjadi pada Keputusan Mahkamah Konstitusi
sebelum Pemilu 2009 yang menghasilkan keputusan untuk merubah cara pemilihan
sebelumnya menjadi pemilihan daftar terbuka, sehingga pemilih memiliki wewenang
untuk menentukan pilihan calon pada daftar partai yang akan menduduki jabatan
jika partainya menang. Sistem pemilu di Indonesia mengalami berbagai
permasalahan-permasalah, salah satunta permasalahan kekerasan dalam pemilu.
Sistem pemilu yang terbuka ini mengakibatkan persaingan antara sesame kandidat
dan antara para pendukung partai/kandidat tersebut. Diperlukannya pengamanan
yang ketat oleh pihak berwajib supaya tidak terjadi kekerasan pada saat proses
pemilu.
F. Kelemahan
Sistem Pemilu yang Memberikan Peluang Money Politic
Money
politic (politik uang) merupakan uang maupun barang yang diberikan untuk menyoggok
atau memengaruhi keputusan masyarakat agar memilih partai atau perorangan
tersebut dalam pemilu, padahal praktek money politic merupakan
praktek yang sangat bertentangan dengan nilai demokrasi.Lemahnya Undang-Undang
dalam memberikan sanksi tegas terhadap pelaku money politic membuat
praktek money politic ini menjamur luas di masyarakat.
Maraknya praktek money politic
ini disebabkan pula karena lemahnya Undang-Undang dalam mengantisipasi
terjadinya praktek tersebut. Padahal praktek money politic ini telah
hadir dari zaman orde baru tetapi sampai saat ini masih banyak hambatan untuk
menciptakan sistem pemilu yang benar-benar anti money politic.
Praktek money politic ini sungguh misterius karena sulitnya mencari data
untuk membuktikan sumber praktek tersebut, namun ironisnya praktek money
politic ini sudah menjadi kebiasaan dan rahasia umum di masyarakat. Real-nya
Sistem demokrasi pemilu di Indonesia masih harus banyak perbaikan, jauh berbeda
dibandingkan sistem pemilu demokrasi di Amerika yang sudah matang.
Hambatan terbesar dalam pelaksanaan
pemilu demokrasi di Indonesia yaitu masih tertanamnya budaya paternalistik di
kalangan elit politik. Elit-elit politik tersebut menggunakan kekuasaan dan
uang untuk melakukan pembodohan dan kebohongan terhadap masyarakat dalam
mencapai kemenangan politik. Dewasanya, saat ini banyak muncul kasus-kasus
masalah Pilkada yang diputuskan melalui lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi
(MK) karena pelanggaran nilai demokrasi dan tujuan Pilkada langsung. Hal itu
membuktikan betapa terpuruknya sistem pemilu di Indonesia yang memerlukan
penanganan yang lebih serius. Masyarakat yang kondisi ekonominya sulit dan
pengetahuan politiknya masih awam akan mejadi sasaran empuk para pelaku praktek
money politik.
Pelaku praktek money politic
ini tentu mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dalam menjalankan prakteknya
tersebut, sehingga setelah dia menerima kekuasaan maka terjadi penyelewengan
kekuasaan seperti eksploitasi Anggaran belanja, kapitalisasi kebijakan, dan
eksploitasi sumber daya yang ada sebagai timbal-balik atas biaya besar pada
saat pelaku money politik itu melakukan kampaye. Perlunya penafsiran
ulang mengenai keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
masalah-masalah di pemilu yang terkadang menyalahi aturan UU yang berlaku.
Calon-calon dalam pemilu pasti melakukan kampanye, kampaye ini memerlukan dana
yang tidak sedikit. Banyak pihak-pihak yang membantu pendanaan dalam melakukan
kampanye suatu partai atau perorangan, namun hal ini terkadang bisa di sebut
suatu penyuapan politik.
Pihak-pihak yang memberikan
pendanaan biasanya mengharapkan imbalan setelah partai atau perorangan tersebut
terpilih dan memegang kekuasaan. Misalnya, anggota legislative yang terpilih
tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak tertentu
khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye tersebut.
Dalam pemilu banyak aksi money politic yang dapat memengaruhi hasil
pemilu karena aturan yang tidak tegas bahkan petinggi negara seperti badan
legislative, eksekutif, dan yudikatif beberapa diantaranya bisa di suap
sehingga petinggi negara yang memiliki kekuasaan tersebut dengan mudah dapat
menetapkan kebijakan-kebijakan atau melakukan kecurangan yang menguntungkan
pihak yang memiliki banyak uang tesebut.
G. Solusi
Mengatasi Money Politic
Kita sebagai masyarakat harus ikut
berpartisipasi untuk mengkaji keputusan Mahkamah Konstitusi dalam menyelesaikan
kasus-kasus pemillu agar tidak menyimpang dari peraturan hukum yang berlaku.
Calon-calon pada pemilu juga harus komitmen untuk benar-benar tidak melakukan
praktek money politik dan apabila terbukti melakukan maka seharusnya
didiskualifikasi saja.
Bentuk Undang-Undang yang kuat untuk
mengantisipasi terjadinya money politic dengan penanganan serius untuk
memperbaiki bangsa ini, misalnya membentuk badan khusus independen untuk
mengawasai calon-calon pemilu agar menaati peraturan terutama untuk tidak
melakukan money politic. Sebaiknya secara transparan dikemukan kepada
publik sumber pendanaan kampaye oleh pihak-pihak yang mendanai tersebut.
Transparan pula mengungkapkan tujuan mengapa mendanai suatu partai atau
perorangan, lalu sebaiknya dibatasi oleh hukum mengenai biaya kampanye agar
tidak berlebihan mengeluarkan biaya sehingga terhindar dari tindak pencarian
pendanaan yang melanggar Undang-Undang. Misalnya, anggota legislative yang
terpilih tersebut membuat peraturan Undang-Undang yang memihak pada pihak-pihak
tertentu khususnya pihak yang mendanai partai atau perorangan dalam kampanye
tersebut.
Meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan
indikator penting untuk memudarkan berkembangnya praktek money politic
karena sebagian besar masyarakat hanya memikirkan keuntungan sendiri tanpa
menyadari efek yang timbul di masa depan. Praktek money politic dapat
menghancurkan masa depan negara ini karena praktek money politic ini akan cukup
menguras keuangan suatu partai atau perorangan yang mencalonkan diri pada
pemilu sehingga setelah terpilih di pemilu akan memicu niat untuk tindak
korupsi. Para pelaku praktek money politic ini memanfaatkan situasi
perekonomian rakyat yang semakin sulit sehingga masyarakat jangan mudah tergiur
dengan keuntungan yang diterima sementara ini.
Calon pemimpin yang melakuan money
politic tentu tidak berlaku jujur sehingga sebagai masyarakat yang cerdas
jangan mau di pimpin oleh seseorang yang budi pekertinya tidak baik. Sadarilah
apabila kita salam memilih pemimpin akan berakibat fatal karena dapat
menyengsarakan rakyatnya. Sebaiknya pemerintah mengadakan sosialisasi pemilu
yang bersih dan bebas money politc kepada masyarakat luas agar tingkat
partisipasi masyarakat dalam demokrasi secara langsung meningkat. Perlu
keseriusan dalam penyuluhan pendidikan politik kepada masyarakat dengan
penanaman nilai yang aman, damai, jujur dan kondusif dalam memilih.
Hal tersebut dapat membantu
menyadarkan masyarakat untuk memilih berdasarkan hati nurani tanpa tergiur
dengan praktek money politic yang dapat menghancurkan demokrasi.
Pemerintah juga harus lebih giat memberikan sosialisasi kepada kandidat yang
akan di pilih oleh rakyat untuk mengutamakan moralitas politik sehingga dapat
berlaku jujur dengan tidak melakukan praktek money politic.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Bertolak dari keseluruhan pembahasan
di atas dicoba menarik beberapa pelajaran yang berkaitan dengan partisipasi
politik di Indonesia. Pada dasarnya partisipasi politik merupakan kehendak
sukarela masyarakat baik individu maupun kelompok dalam mewujudkan kepentingan
umum. Dalam hal ini setiap sikap dan perilaku politik individu seyogyanya
mendasari pada kehendak hati nurani secara suka rela dalam konteks kehidupan
politik.
Partisipasi politik amat urgen dalam
kontes dinamika perpolitikan di suatu masyarakat. Sebab dengan partisipasi
politik dari setiap individu maupun kelompok masyarakat maka niscaya terwujud
segala yang menyangkut kebutuhan warga masyarakat secara universal. Sehingga
demikian, keikutsertaan individu dalam masyarakat merupakan faktor yang sangat
penting dalam mewujudkan kepentingan umum. Dan paling ditekankan dalam hal ini
terutama sikap dan perilaku masyarakat dalam kegiatan politik yang ada. Dalam
arti lain setiap individu harus menyadari peranan mereka dalam mendirikan
kontribusi sebagai insan politik. Dalam hal ini peranan meliputi pemberian
suara, kegiatan menghadiri kampanye serta aksi demonstrasi. Namun
kegiatan-kegiatan sudah barang tentu harus dibarengi rasa sukarela sebagai
kehendak spontanitas individu maupun kelompok masyarakat dalam partisipasi
politik tanpa adanya intimidasi dari pihak lain. Dengan kegiatan-kegiatan politik
ini pula, intensitas daripada tingkat partisipasi politik warga masyarakat
dapat termanifestasi maksudnya terwujud dengan kata lain perwujudan atau bentuk
dari sesuatu yang tidak kelihatan. Karena ini bisa dijadikan sebagai parameter
dalam mengetahui tingkat kesadaran partisipasi politik warga masyarakat di
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Almond
dan Verba, Dalam Buku, Budaya
Pollitik, tingkah laku politik dan demokrasi
di lima Negara, Bumi Aksara : Jakarta, 1990.
Budiardjo, Mirriam.
(1996). Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia.
Huntington, Samuel P. dan Nelson, Joan..
Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Mulia, Siti Musdah, Anik Farida. (2005).
Perempuan & Politik. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Rush, Michael dan Phillip Althoff.
(2002). Pengantar Sosiologi Politik. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.
Samuel P. Huntington dan Joan
Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang, (Jakarta: Rineka
Cipta, 1990) h. 9-10.
Dokumen :
Undang-undang Republik
Indonesia No. 31 Tahun 2002 Tentang Partai Politik.
Undang-undang Republik
Indonesia No. 12 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.
Internet/Url
:
http://henisuperwoman.blogspot.com/2013/06/normal-0-false-false-false-in-x-none-x_11.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar Harus dengan menggunakan bahasa yang baik, santun, dan benar. Terima Kasih. Wassalamualaikum.Wr.Wb